bukan untuk liburan, tapi karena Adik Ipar saya menikah dan kebetulan saya diminta membuat NPWP untuk keperluan data pegawai di kantor,,
Ternyata diluar 2 agenda itu, di kabupaten saya, sedang ada Pesta Rakyat, yaitu pemilihan kepala desa secara serentak di 152 Desa, yang tersebar di 18 Kecamatan. Walaupun diluar rencana, namun sebagai warga desa yang baik saya menggunakan hak pilih saya untuk memilih kepala desa yang akan memimpin desa saya (karang duren, kecamatan bobotsari) untuk 6 tahun kedepan.
Biasanya, pemilihan itu identik dengan simbol-simbol partai atau foto-foto calon. Uniknya didaerah saya tiap calon kepada desa punya logo tersendiri, yaitu menggunakan gambar-gambar tanaman kebutuhan pokok. contohnya Padi, Ketela, Jagung, Kelapa, Tebu, dll., tergantung jumlah calon kepala desa. Penentuan logo ini biasanya diundi.
Dibalik semua keunikannya, satu hal yang saya paling tidak suka di ajang Pesta Rakyat ini adalah adanya money politik. Walaupun pemilihan hanya sebatas kepala desa, namun ternyata tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk "membeli" suara warga. Uang yang dikeuarkan untuk tiap suara berkisar antara 20 ribu sampai 50 ribu. Jika sang calon kepala desa membeli 200 suara, maka uang yang dia harus keluarkan antara 40 juta sampai 100 juta rupiah. Sebuah nilai yang besar jika hanya untuk menduduki kursi kepala desa. Dalam membeli suara, para calon biasanya tidak mendatangi warga secara langsung, namun melalui tim sukses mereka atau calo suara yang biasanya datang menawarkan diri kepada para calon kades.
Miris, tapi inilah realitanya. Ternyata praktik jual beli suara tidak hanya berlangsung di ranah para wakil rakyat di Senayan sana, tapi sudah mengakar sampai ke desa-desa. Sebuah agenda besar Pemilihan Umum yang sering disebut "Pesta Rakyat" memang benar-benar digunakan untuk kesenangan rakyat karena mereka dapat meraup rupiah yang lumayan apabila mendapat "Uang Suara" dari beberapa calon. Atau bisa jadi pemilu hanya menjadi "Pesta Calon Wakil Rakyat", yang dengan begitu mudahnya mereka menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi ambisi menduduki kursi panas.
terkadang orang lebih sering "Membenarkan yang sudah biasa", bukankah seharusnya kita "Membiasakan yang benar?"
terkadang orang lebih sering "Membenarkan yang sudah biasa", bukankah seharusnya kita "Membiasakan yang benar?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar